Pos-Solo,-Beberapa kali saya menulis ihwal kenaikan harga BBM. Tidak lupa saya perikan data-data statistik APBN, subsidi yang tidak tepat sasaran, hingga harga minyak dunia. Kalau kata David Nurbianto, “BBM naik itu takdir, kite ga bisa beli BBM itu nasib. Yang kite rubah bukan takdirnye, tapi nasibnye!!” Maka tulisan kali ini tidak akan lagi berbicara soal data statistik.
Dalam diskusi yang bertajuk "The Fight for Oil, Water and a Healthy Planet" di Stanford University, John Abizaid, mantan komandan U.S. Central Command (CENTCOM), mengatakan "Of course it's (the Iraq War) about oil, we can't really deny that." Sang purnawirawan jenderal menambahkan "We've treated the Arab world as a collection of big gas stations." Wow.
Mungkin minyak bukan satu-satunya target Perang Iraq. Tapi sepertinya minyak menjadi target utamanya. Mantan pemimpin The Fed, Alan Greenspan, dan mantan senator yang juga pernah menjadi menlu AS, Chuck Huggel, pernah melontarkan pernyataan yang seirama ucapan John Abizaid tadi. Itulah kenyataannya. Di beberapa belahan bumi, minyak menjadi pemicu konflik. Rakyat Amerika pun mulai mempertanyakan tujuan mereka berperang. Jika memang minyak, lalu kenapa harga minyak di Amerika terus naik?
Saat ini, minyak atau bahan bakar fosil masih menjadi komoditas utama penghasil energi. Seiring dengan perkembangan industri, kenaikan jumlah kendaraan bermotor, dan peningkatan jumlah perangkat berbahan bakar minyak lainnya, permintaan minyak terus menaik. Padahal minyak bumi merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Hukum ekonomi otomatis berlaku di sini. Ketika permintaan meningkat dan persediaan berkurang maka harga akan naik. Dari waktu ke waktu, harga minyak dunia selalu naik. Walau kadang turun, secara umum harganya cenderung naik.
Jika melihat cadangan minyak kita, lebih jauh lagi cadangan minyak dunia saat ini, sudah saatnya kita mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Sebagai alternatif solusi jangka menengah, kita mulai mengonversi energi ke gas. Termasuk membangun infrastruktur transportasi massal. Pertanyaannya, apa yang harus kita lakukan dalam jangka pendek ini? Di antaranya mungkin dengan mengalihkan alokasi dana subsidi BBM ke sektor lain yang lebih produktif seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Jika kita diam, persoalan ini hanya akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa mendentum.
Tidak mudah mengambil keputusan untuk menaikan harga BBM. Jelas, menaikan harga BBM bukan kebijakan populis. Makanya, sampai masa jabatannya berakhir, SBY tidak berani menaikan harga BBM. Apalagi kebijakan ini diambil oleh pemerintahan yang baru seumur jagung. Secara pribadi, saya percaya Jokowi lebih diuntungkan jika harga BBM tidak jadi dinaikan. Saya juga tahu banyak rakyat yang tidak senang Jokowi mengambil kebijakan ini.
Sekarang bukan saatnya untuk saling menyalahkan, tapi saatnya untuk saling memahami. Tidak ada salahnya kita mencoba memahami kebijakan yang telah diambil pemerintah. Pemerintah pun telah mencoba emahami kebutuhan rakyatnya dengan mengalihkan alokasi dana subsidi BBM ke sektor lain yang lebih produktif. Sekarang bukan saatnya rakyat dan pemerintah saling memusuhi, karena musuh bersama yang sebenarnya dan sering kali kita lupakan adalah krisis energi.
Sudah sejak lama saya menggunakan BBM nonsubsidi. Di masa ketika dompet menipis pun saya usahakan untuk tetap konsisten menggunakan BBM nonsubsidi. Bukan apa-apa, hanya karena saya tahu kondisi negara saat ini bagaimana. Karena itu, meski tidak banyak membantu memperbaiki keadaan, setidaknya saya tidak menambah beban yang harus ditanggung negara. Ibarat kata John F. Kennedy, “Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country." Yuk kita perbaiki nasib, karena takdir tak bisa diubah.
0 komentar:
Post a Comment