Penyebab krisis pangan hampir sama, yakni karena gagal panen akibat kemarau panjang. Sekitar 3.000 warga yang mendiami masing-masing desa terpaksa mengganti makanan pokok beras dengan umbian lede (gadung). Kondisi itu sudah berlangsung selama 3 bulan terakhir.
Untuk mendapatkan umbian gadung tidaklah mudah. Warga harus bersusah payah menempuh perjalanan puluhan kilometer di atas gunung untuk mencarinya. Menurut warga, gadung bukanlah tanaman budidaya tetapi tumbuh liar di atas gunung. Tanaman jenis umbi itu juga tidak tumbuh disembarang tempat, melainkan di lokasi yang terjal.
Setiap hari warga 4 desa harus menghabiskan waktu sekitar 4 jam untuk mencari gadung. Mereka juga harus rela mendaki gunung yang terjal jika ingin asap dapur tetap mengepul. Namun rasa lelah itu tak terpikirkan karena pencarian Gadung dilakukan secara berkelompok.
"Semua gadung yang diperoleh itu akan dikumpulkan lagi kemudian diolah bersama," kata Subhan, warga Dusun Nanga Ni’u, Desa Karampi kepada Liputan6.com.
Setelah gadung diperoleh, jelas Subhan, warga tidak boleh mengonsumsinya secara langsung karena umbian itu mengandung racun. Gadung harus diolah melalui beberapa tahapan seperti dikupas kemudian diiris kecil-kecil hingga menyerupai keripik, kemudian direndam dengan air laut hingga 4 jam agar kandungan racunnya hilang.
Makan Gadung karena Terpaksa
Menurut Kepala Desa Karampi, Drs. Rifdun H. Hasan, tak jarang warga mengalami keracunan karena langsung mengonsumsi gadung atau tidak melaui proses pengolahan yang baik. Kata dia, setelah direndam air laut gadung harus dicuci lagi dengan air tawar supaya tidak asin. Proses selanjutnya harus dijemur lagi selama 2 hingga 3 hari baru bisa dimasak dan dikonsumsi.
"Meski sudah terbiasa makan gadung, warga tetap ada yang keracunan karena tidak mengolahnya dengan baik. Ya kita tidak punya pilihan karena memang tidak ada beras untuk dimakan," ujar Rifdun.
Rifdun mengaku, warga memakan Gadung sejak mulai masuk musim kemarau. Lahan yang kering menyebabkan hampir semua hasil pertanian gagal panen. Stok beras yang disimpan hanya cukup untuk beberapa minggu awal musim kemarau.
"Kita harus menempuh perjalanan 16 kilometer untuk mendapatkan gadung di atas gunung. Ini kita lakukan setiap hari, karena jika tidak begitu mau makan apa kita," imbuh Aminah, warga Dusun Soro Bali yang kemudian diiyakan warga lainnya.
Air Bersih Juga Langka
Tidak itu saja, kata Kamsu Muhammad, Kepala Dusun Nanga Ni’u. Usai makan, warganya harus susah payah lagi mencari air bersih untuk keperluan minum. Pasalnya, air sungai dan mata air terdekat sudah mengering karena kemarau.
"Hingga kini, belum ada perhatian pemerintah untuk membantu warga kami. Minimal beras atau air bersih," ujar dia.
Kamsu kuatir, beberapa minggu ke depan keberadaan gadung yang tumbuh liar digunung habis karena setiap hari diambil warga. Saat ini saja, warganya sudah mulai kesulitan untuk mendapatkannya. Kalaupun ada, membutuhkan waktu lama untuk mencarinya dan jumlahnya sudah tidak banyak lagi.
Hal senada disampaikan Kepala Desa Sarae Ruma, Adhar Usman. Dia mengakui warga Dusun Tanggani dan Sido yang berjumlah sekitar 2.000 orang kini menjadikan gadung bukan lagi makanan tambahan, tapi makanan pokok. Konsumsi gadung intensitasnya sama dengan nasi sebanyak 3 kali sehari.
Camat Langgudu, Drs. Muhammad Rum, M.Si, yang ikut turun langsung bersama media ke Karampi mendapatkan keluhan yang sama dari warga. Ketersediaan beras sebagai makanan pokok warga 4 desa diakui betul-betul sudah tidak ada. Sehingga warga terpaksa beralih memakan gadung.
"Masalah ini akan kami laporkan kepada Pemerintah Kabupaten Bima. Syukur lah kalau informasinya mereka sudah mengetahui lebih dulu. Mudah-mudahan bisa segera membantu menyalurkan beras untuk masyarakat kami," pinta dia. Tapi Apadaya Semua tidak terkabulkan. "Mana Janji Pemerintah? yang katanya tidak akan terjadi krisis pangan!!"
0 komentar:
Post a Comment